Saturday, September 15, 2012

Berjasanya Sang Jendral Besar

Kala itu saya lagi merintis usaha batik saya dengan modal uang 100 ribu untuk perjalanan saya ke jakarta menawarkan batik punya teman saya.

Kenyataan berkata lain hitungan dan prediksi saya meleset jauh, batik satu rangsel yang saya  bawa ternyata tidak laku ditambah uang saku perjalanan saya habis tanpa sisa satu rupiahpun di kantong saya.

Pikiran saya waktu itu panik bukan main karena tanpa saudara di jakarta dengan tanpa uang apakah saya bisa hidup dan bisa berjualan untuk mendapatkan uang agar saya bisa pulang ke pekalongan itu yang ada dibenak saya ketika uang saku saya habis.

Ketika saya sampai di depan rumah sakit pertamina /RSPP saya melihat kerumunan orang dan wartawan sedang meliput, iseng - iseng saya mendatangi kerumunan tersebut dan ternyata mantan presiden suharto sedang dirawat karena sakit kritis dirumah sakit tersebut, pikiran pertamaku saat itu jika yang sakit itu suharto pasti yang menjenguk orang - orang kaya dan pejabat tinggi pastinya jika saya iseng nawarin batik ke orang - orang tersebut saya pasti dapat uang untuk pulang.


Dengan sabar saya menunggu keluarnya para penjenguk suharto, tiap orang yang mau jalan ke mobilnya saya tawarin batik saya ternyata hari pertama jualan di RSPP tidak beruntung mendapatkan satu rupiahpun, perutku sudah mulai sakit karena menahan lapar karena sudah dua hari tidak makan hanya minum  air putih pemberian satpam yang aku bawa di tas rangselku.

Dengan perasaan pasrah aku duduk  di masjid RSPP dengan penuh harapan akan keajaiban, seseorang duduk disebelahku yang sibuk dengan laptopnya diliat dari ID cardnya dia wartawan reuter yang sedang membuat laporan liputan tidak lama kemudian dia mengajakku makan bersama karena catering untuuk wartawan peliput sudah datang, pikir dia saya ini wartawan peliput juga, ajakan  makan dari si  wartawan tentu saja tidak saya sia -  siakan  begitu saja maklumlah sudah beberapa hari perut saya tidak ada isinya, dengan pura - pura sebagai wartawan saya makan malam sepuasnya namun dengan perasaan deg - degan karena takut identitas saya tercium.

Akhirnya malam itu saya bisa tidur pulas di masjid RSPP bersama para wartawan peliput karena perutku sudah kenyang, begitu esoknya saya berpura - pura jadi wartawan lagi supaya bisa ikut sarapan pagi, roti dan nasi yang saya bungkus dan sebotol besar teh manis saya masukkan ke ransel saya untuk bekal keliling jualan batik di sekitar jalan ahmad dahlan sampai radio dalam, dan hari itu Allah belum memberikan rizqi buat saya, akhirnya sore harinya saya kembali lagi  ke  RSPP untuk berpura -  pura jadi wartawan lagi supaya bisa makan malam gratis yang disediakan oleh mba tutut.

Siang itu ketika duduk - duduk di parkiran sarinah thamrin sayup - sayup saya dengar suara sirene yang meraung - raung menurut informasi yang saya dapat dari penjual rokok  bahwa pak harto  meninggal dunia tadi pagi, pikiran saya langsung terlintas untuk menuju  jalan cendana bukannya untuk melayat pak  harto tapi untuk mencari makan gratis ya harap dimaklumi karena sudah 2 hari perut saya belum kemasukkan apa - apa selain air putih.

Dengan pede campur was - was saya membaur dengan wartawan dan alhasil saya bisa masuk ke ring satu yakni di depan rumah pak harto dengan berpura - pura nulis di nota kecil yang saya bawa supaya  dikira  wartawan sambil takut karena kalau ketahuan bisa ditangkap polisi, moment yang saya nantikan sudah tiba yakni makan malam gratis, nafsuku ingin menghabiskan semua makanan yang ada dimeja karena disitu berbagai menu masakan dan roti menggoda mata dan perutku, berbagai merk rokok ada disitu dan bebas mengambilnya.

Setelah perut kenyang saya mencoba jualan batik tapi tidak buka lapak melainkan menawarkan batik kepada pelayat yang datang dengan mendekati dan berbicara mau menawarkan kain batik, ternyata trik saya tidak berhasil dan zero  iincome lagi, dalam hati saya mendingan saya istirahat saja di rest area wartawan yang letaknya di depan rumah pak harto sambil makan minum sepuasnya.

Malam sudah larut saya dibangunkan wartawan dan di ajak untuk meliput jenazah pak harto di dalam rumah pers sudah di ijinkan meliput setelah pelayat sudah sepi, moment langka dan bersejarah buat saya tentu tidak mau saya lewatkan, dengan nota kecil dan bawa ransel yang isinya batik saya ikut rombongan wartawan masuk kerumah pak harto yang alhamdulilah saat itu tidak ada yang diperiksa kalau diperiksa bisa mampus saya.

Jenazah pak harto terbaring dengan ditemani mba tutut yang sedang menangis sesenggukan saya mendekat ke jenazah pak harto seperti para wartawan lainnya, ternyata rumah pak harto sangat sederhana untuk seorang mantan presiden yang sudah berkuasa puluhan tahun, ornamen interior khas jawa sangat kental dirumah yang bercat hijau yang terkenal dengan rumah cendana itu.

Didepan jenazah pak harto saya beserta rombongan wartawan berdoa bersama dengan dipimpin oleh salah satu wartawan senior, dalam hati saya mengucapkan terima kasih kepada pak harto karena sudah kerja keras memajukan bangsa indonesia terlepas dari berbagai kasus dan rumor yang menimpa almarhum, saya juga berterima kasih dengan pak harto dan keluarga yang sudah memberikan saya makanan yang bisa menambah energi saya untuk meneruskan jualan batik keliling selama seminggu baik di RSPP maupun di menteng.

No comments:

Post a Comment