Wednesday, September 26, 2012

Beberapa Makna Simbolis Batik Surakarta (Solo)

BATIK DENGAN MOTIF SEMEN

1. Batik Semen Semen Rama (masa Pakoe Boewono IV)
Motif mengacu pada Wejangan Prabu Ramawijaya kepada R. Wibisono, adik Dasamuka dari Alengko. Dengan ajaran Hasta Broto yang intinya ajaran :
  1. Kemakmuran (dilambangkan dengan bentuk tumbuhan atau hayat)
  2. Melindungi bumi, (dilambangkan dengan motif Gunung)
  3. Adil, keteguhan hati, keluhuran (dilambangkan dalam bentuk gambar garuda, kedudukan dilambangkan iber-iber/burung)
  4. Kedudukan tinggi, kesaktian (dilambangkan dengan api)
  5. Pemaaf (dilambangkan dalam bentuk naga)
  6. Motif ini hanya dikenakan oleh Raja, Pangeran dan kerabat Raja saja
2. Batik Semen Gendhong (masa Pakoe Boewono IX, akhir abad XIX)
Nama Gendhong artinya mengangkat atau menjunjung. Lambang atau gambaran gedhong adalah supaya bisa mengangkat tinggi derajat keluarganya. Batik Gendhong bisa dipakai untuk acara apa saja dan dapat digunakan semua golongan.

3. Batik Semen Prabu
Semen-Prabu dikonotasikan dengan kedudukan tinggi atau kedudukan seseorang. Suatu permohonan untuk mencapai “Kalenggahan Luhur” yang bisa, memberikan pengayoman dalam kehidupannya. Batik ini dapat dipakai siapa saja, tergolong batik tengahan. Batik ini termasuk Semen latar hitam.

4. Batik Semen Wijaya Kusuma
Dinamakan Wijaya Kusuma adalah mengambil salah satu nama bunga pusaka milik Prabu Kresno dalam pewayangan. Maknanya suatu keindahan seperti bunga, yang mengandung daya perbawa sebagai lambang “panguriban”. Tujuannya supaya diberi kehidupan yang indah atau kehidupan yang mencukupi dan disegani di dalam masyarakat.
Batik Wijaya Kusuma termasuk Batik Semen latar putih.

BATIK DENGAN MOTIF CEPLOKAN

1. Batik Ceplokan (Sekuntum/ biasa dengan bentuk satuan bunga)
Pada zaman kerajaan Mataram Sultan Agung abad ke-XVII sampai Mataram Kartosura abad XVIII motif Ceplokan sudah berkembang dan digunakan oleh Keraton dan masyarakat umum. Adapun motif-motif batik ceplokan adalah:
Macam macam Batik Ceplokan :

2. Batik Ceplok Sriwedari
Pada prinsipnya batik motif Ceplok Sriwedari sama dengan batik Ceplok Lung Slop, hanya motif ukel diganti dengan isen-isen parangan. Dalam 1 raport kotak berisi lung dan lainnya berisi motif parangan.
Nama Sriwedari memlambangkan suatu pertamanan yang indah dan menarik. Artinya bisa sebagai perlambang memikat hati untuk menghilangkan kejenuhan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Batik Satria Wibawa
Jenis batik Ceplokan segi-empat dengan titik pusat ditengah, dalam ajaran Jawa dimasukkan dalam konsep kekuasaan yang melambangkan Raja. Satria Wibawa sudah menunjukkan kewibawaan, wataknya menep bijaksana.

BATIK KAWUNG
Kawung diambil dari nama pohon kolang-kaling (buahnya). Artinya dalam kaweruh Jawi melambangkan ajaran sangkan paraning dumadhi. Atau ajaran terjadinya kehidupan manusia menurut Kejawen. Sedulur papat lima pancer.
Pada awal Surakarta batik Kawung dipakai untuk kerabat Raja saja. Setelah mataram terbagi menjadi dua (Yogjakarta dan Surakarta) batik ini digunakan orang yang berbeda. Di Surakarta dikenakan kerabat Ponokawan (dalam pewayangan/abdi dalem). Sedangkan di Yogyakarta digunakan oleh abdi Sentana Ndhalem.
Batik Kawung yang diambil dari ornamen buah pohon kolang-kaling mempunyai nilai filosofis mengisyaratkan supaya eling (ingat) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa jenis Batik Kawung adalah Kawung Picis (diambil dari nama uang 10 sen), batik Kawung Bribil (uang pecahan 25 sen) dan batik kawung sen (uang pecahan 1 sen).

BATIK PARANG DAN LERENG
Batik Parang dan Lereng bagi keraton Surakarta sebagai ageman luhur, artinya hanya di pakai oleh Agemandhalem Sinuhun dan Putra Sentanadalem saja, bagi abdi menjadi larangan.
Parang ada yang berpendapat senjata tajam yang berupa parang atau sejenisnya. Pengertian ini disebut “wantah”. Berdasarkan pertimbangan data, kata parang adalah perubahan dari kata pereng atau pineggiran suatu tebing yang berbentuk lereng (diagonal). Mengambil gambaran pesisir pantai Jawa; Paranggupito, parangkusumo, dan Parangtritis dll.
Tempat tersebut menjadi tempat penting karena erat kaitannya dengan keberadaan Ingkang Sinuhun Panembahan Senopati Kerajaan Mataram, setalah pindahnya pusat pemerintahan Jawa dari Demak ke Mataram. Tempat tersebut merupakan tempat “teteki” atau bertapa raja Mataram pertama yang mengilhami batik lereng pertama. Juga laku teteki atau bertapanya Panempahan Senopati dari Parangkusumo melewati pesisir pantai selatan menuju Dlepih Paranggupito, menelusuri tebing gunung Sewu.
Ciri-ciri Batik Parang :
  1. Bentuknya Lereng diagonal 45 0
  2. Memakai mlinjon
  3. Memakai sujen
  4. Ada mata gareng
Ciri Batik Lereng :
  1. Bentuknya miring diagonal 45 0
  2. Tidak selalu memakai mlinjon, sujen dan mata gareng
  3. Hanya dibatasi garis lurus
Bisa memakai motif lung-lungan atau diseling bentuk parangan yang disebut glebangan. Kedua motif batik ini sudah ada sebelum berdirinya Kerajaan Mataram – Kartosuro (Parang rusak, parang barong, barang pamor, parang rusak barong, parang kusumo, parang klitik).
Parang kusumo adalah bunga, yang dinamakan darahing-ratu atau disebut darah dalem. Sesuai namanya parang kusumo hanya dipakai oleh darah dalem pancer Ingkang Sinuhun Pangeran turun temurun.
Untuk batik Lereng yang sudah dikenal antara lain lereng glebangan, lereng thathit, lereng sobrah. Batik Parang maupun lereng juga diperlambangkan sebagai lambang kesucian dan kekuatan seperti Tuhan.
Karena parang mempunyai konotasi yang sadis (sebuah sejata), maka hanya orangang tertentu yang mampu memakainya, artinya meraka yang dapat menghilangkan kekuatan magis dari parang tersebut. Maka, hanya raja dan keturunannya saja yang mampu menghilangkan konotasi sadis.

Batikan Kampuh Dan Kepangkatan

Pada zaman Mataram yang diperintah oleh sultan Agung motif batik sudah mengalami perkembangan namum belum begitu pesat. Baru pemerintah Mataram, Surakarta Pakoe Boewana IV perkembangan motif batik semakin pesat. Hal ini karena pada masa Pakoe Boewana IV setiap golongan dalam keraton dibuatkan motif sendiri-sendiri. Kemudian semakin berkembang pesat di bawah Pemerintahan Pakoe Boewono X.
Literature :
  1. Mlayadipura, 1950. Desa laweyan.
  2. KRT. DR. (HC) Kalinggo Honggopuro. 2002. Batik sebagai busana dalam tatanan dan Tuntunan. Yayasan Peduli Keraton Surakarta Hadiningrat. Surakarta.
  3. H. M. Soeharto bersama Tim. Indonesia Indah Ke-8. 1997. “Batik”. Yayasan Harapan Kita / BP-3 TMII. Jakarta.
  4. P. De. Kat Anggelo. Laporan tentang batik (Inspektor pada Kantor Buruh) Bagian II Jawa Tengah. 1930

No comments:

Post a Comment